SEJARAH OBAT TRADISIONAL

Tanaman herbal merupakan kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia. Tanaman tersebut biasa diolah menjadi obat tradisional. Namun ternyata, tanaman obat tradisional lebih dulu eksis jika dibandingkan dengan pengobatan konvensional.(dikutip dari Unair News) “Sebenarnya pengobatan tradisional itu sudah ada dari dulu sebelum ada pengobatan konvensional,” ujar Myrna Adianti, S.Si., M.Kes., Ph.D pada workshop BAXIE yang dilaksanakan Sabtu (24/10/2020).
Dosen Program Studi Pengobat Tradisional Fakultas Vokasi Universitas Airlangga tersebut menyebutkan bahwa pengobatan tradisional yang ada tidak hanya mengkonsumsi obat herbal saja tapi tindakan non medis juga termasuk di dalamnya seperti akupuntur, akupresure, massage, yoga, dan lainnya.
Indonesia sudah dikenal dengan jamunya seperti beras kencur, kunyit asam, dan lain-lain. Tak sedikit dari kalangan masyarakat yang mengkonsumsi jamu untuk menjaga kesehatannya. “Jamu itu pengobatan tradisional yang berasal dari Indonesia. Tujuannya untuk merawat gejala di dalam tubuh dan sudah diturunkan dari generasi ke generasi,” jelas Myrna pada workshop yang digagas oleh Program Studi Pengobat Tradisional FV UNAIR.
Ia menjelaskan bahwa jamu kebanyakan dari Jawa Tengah tepatnya dari keraton disana. Banyak buku yang berasal dari perpustakaan keraton banyak yang mencantumkan komposisi jamu yang digunakan untuk merawat raja dan orang – orang darah biru.
“Raja dan orang penting ini kan tidak boleh sakit. Jika sakit maka akan membuka jalan musuh untuk memenangkan pertempuran,” ungkapnya.
“Tetapi bukan hanya kerajaan di Jawa saja, ada banyak kerajaan di Indonesia yang ada di daerah lain juga punya resep jamu sendiri,” imbuh Myrna.
Jamu diklaim sudah ada di Indonesia dari 1300 tahun lalu saat Kerajaan Mataram berjaya. Bukti yang memperkuat klaim tersebut adalah adanya ukiran di beberapa candi yang ada seperti Candi Borobudur.

“Dalam ukiran Candi Borobudur itu ada beberapa bagian yang menunjukkan tentang kehiudupan masyarakat dengan gambaran memegang mortal untuk menumbuk bahan. Ada juga gambaran seperti pemijat yang sedang melakukan tugasnya,” paparnya.
Jamu bisa dikemas dalam bentuk serbuk, pil, kapsul, dan cairan. “Umumnya penjual jamu itu yang secara tradisional, dia langsung menjual dalam bentuk cair,” terangnya. Namun sekitar tahun 1960an, mulai berkembang depot jamu yang menjual produk jamu dalan bentuk serbuk, pil, dan kapsul.
“Depot jamu ini tidak menyediakan dalam bentuk jadi. Pembelinya bisa request. Jadi menurut saya ini produk yang tradisional tapi dikemas dalam bentuk modern dan bisa berkembang, bahannya juga lebih awet untuk disimpan,” tandas Myrna.

Sejarah Ramuan Jamu; Obat-obatan dari Belanda banyak tak manjur mendorong para ahli kesehatan Belanda meneliti pengobatan tradisional. Banyaknya ragam tanaman obat di Nusantara dan kabar kemanjurannya mendorong para sarjana Eropa di Hindia Timur meneliti mereka. Ketertarikan kuat para sarjana untuk meneliti juga didorong oleh keadaan akibat bahan obat yang dikirim dari Belanda kadaluwarsa lantaran terlalu lama di jalan. Bahan obat itu juga rusak akibat terpapar temperatur ekstrem di kapal. Penelitian tentang tanaman obat lokal sudah dilakukan para ahli bedah dan apoteker militer sejak VOC masih berjaya. Salah satunya oleh Jacobus Bontius, dokter yang merawat JP Coen. VOC sangat mendukung kegiatan penelitian lantaran bisa memangkas biaya pengiriman obat. Lewat Dewan XVII, VOC membiayai The Batavian Society of Arts and Sciences pada 1778 untuk mengurus kebun herbal dan mengadakan seminar tanaman obat (jamu).
Semangat menemukan bahan obat di negeri jajahan terus berjalan ketika pemerintah Hindia Belanda menggantikan VOC. Pada 1817, pemerintah mendirikan Kebun Raya Bogor untuk tempat penelitian menemukan tanaman paling menguntungkan ekonomi Belanda sekaligus meneliti khasiat tanaman obat.
Sejarawan Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menjelaskan, studi tentang obat-obatan lokal menguntungkan Belanda baik secara praktis maupun keilmuan. Perintah kepada petugas kesehatan untuk meneliti terapi tradisional dan kemampuan para dukun pun dikeluarkan lewat pasal 52 Staatsblad Nomor 68 tahun 1827. Setiap unit daerah ditugaskan untuk melakukan obsevasi dan membuat laporan tentang praktik kesehatan penduduk pribumi.

Salah satu dokter yang mempelopori penelitian jejamuan di era itu ialah Friedrich August Carl Waitz. Penelitian Waitz tentang khasiat jamu membuktikan daun sirih mengandung agen narkotika dan bermanfaat mengobati batuk menahun. Ia juga menguji keampuhan air rebusan kulit sintok untuk mengobati masalah pencernaan, khususnya usus. Temuan-teman macam itu menjawab keluhan Direktur Dinas Layanan Kesehatan Koloni Geerlof Wassink, yang mengatakan minimnya persediaan obat di negeri jajahan karena sepertiga bahan farmasi yang dikirim dari Belanda tidak berfungsi. Wassink yang juga editor Medical Journal of the Dutch East Indies, jurnal medis tertua di Hindia-Belanda, meneliti tanaman obat Nusantara yang ia terbitkan dalam tiga jilid. Dia rajin mengompori dokter dan ahli botani Belanda untuk meneliti tanaman obat di negeri jajahan.
Ketika Wasink meninggal pada 1867, semangat meneliti tanaman obat lokal diteruskan penggantinya, CL Van der Burg. Dalam editorialnya, Van der Burg mengajak para sarjana untuk melakukan pengamatan teliti tentang kemanjuran tanaman obat tropis. Ia juga mengeluarkan karya tulis medis pada 1885, “Materia Indica”, yang jadi seri ketiga buku De Geneesheer in Nederlandsch-Indie (Ahli Kesehatan di Hindia-Belanda).
Selain jamu, yang diteliti para sarjana Eropa ialah obat-obatan Tiongkok. Mereka sebetulnya agak kesulitan membedakan tanaman obat Nusantara dengan Tiongkok karena banyak kemiripan. Namun pada 1890, dokter AG Vorderman meneliti metode pengobatan difteri oleh seorang tabib Tiongkok. Tabib itu meniupkan bubuk merah ke tenggorokan pasien. Hasil yang sangat efektif mendorong beberapa dokter Eropa mengadopsi metode penyembuhan itu.
Profesor Hans Pols dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation” menyebut, sarjana lain yang aktif meneliti pada akhir abad ke-19 ialah Willem Gerbrand Boorsma. Ketika Boorsma menjadi Direktur Laboratorium Farmakologi di Kebun Raya Bogor pada 1892, penelitian pada jamu giat dilakukan. Boorsma melakukan analisis kimia dan farmakologis untuk menemukan sifat obat yang efektif dari tanaman.
Di laboratoriumnya, Boorsma bereksperimen dengan merebus daun, akar, dan rempah lalu mencampurnya dengan asam dan larutan kimia untuk mengidentifikasi kandungan aktif. Terkadang, Boorsma menjajal efek percobaannya pada kelinci atau anjing kecil.
Untuk menghimpun informasi tentang penggunaan jamu di Hindia-Belanda, Boorsma membuka korespondensi dengan para pejabat, dokter, dan pemilik perkebunan. Suatu ketika, respondennya mengirim surat terbuka di koran bahwa jamu berkhasiat sedang dikirim ke laboratorium Boorsma untuk dianalisis. Orang-orang Belanda yang membaca koran itu langsung membanjiri Boorsma dengan surat berisi permintaan ramuan sejenis. Padahal, Boorsma belum menerima jamu itu apalagi menelitinya. Hal itu menjadi bukti tingginya animo orang-orang Eropa pada ramuan obat Nusantara.

Shopping Basket